Jatuh (Cinta) Itu Harus Benar-benar Jatuh

Katanya orang yang benar-benar bahagia itu adalah orang yang sedang jatuh cinta. Tidak satu orang pun yang tidak menginginkan happy ending dari kisah percintaannya. Sudah semacam kebutuhan yang wajib dipenuhi, jika manusia harus merasa bahagia di dunia ini. Tetapi perlu diingat, kebahagiaan terikat dengan proses dan waktu yang tak pernah berhenti berjalan.

Sebut saja aku Bunga. Anak kedua dari tiga bersaudara. Kedua saudaraku adalah lelaki. Dalam bahasa Batak (berhubung saya adalah orang Batak tulen), aku disebut boru sasada (anak perempuan satu-satunya dalam keluarga). Dari Medan (Sumatera Utara ) masuk dalam, aku merantau ke Jakarta melanjut kehidupan. Dulu kelas II SMP, Abangku sudah pergi ke luar kota untuk melanjutkan SMA. Dua tahun kemudian aku menyusulnya dengan tujuan yang sama, melanjutkan SMA. Jadi, selama dua tahun sebelum SMA aku menjelma menjadi anak paling sulung ketika tinggal bersama kedua orang tuaku dan adikku.

Menjadi boru sasada bukan berarti aku dimanjakan kedua orang tuaku terutama saat abangku berada di luar kota. Menjadi anak tertua bagi adikku tanpa abangku saat itu menjadi pelajaran berharga dalam hidupku. Kami bersyukur orang tua kami adalah pekerja keras yang mampu menghidupi anak-anaknya dengan baik. Orang di sekitar mungkin melihat kebutuhan kami tercukupi, tapi tetap saja kedua orang tuaku juga adalah manusia dan keluarga itu tidak jauh juga dari perselihan keluarga. Perselisihan keluarga, bumbu-bumbu hidup dalam berkeluarga.

***

Malam itu sudah larut. Hampir dini hari. Mama dan aku belum tidur. Sedangkan adikku sudah tidur. Mama dan aku sedang menunggu Bapak yang belum pulang dari kedai (semacam warung yang menyediakan minuman khas Batak, Tuak. Sama halnya dnegan minuman alkohol, minum tuak terlalu banyak bisa membuat orang yang meminumnya mabuk). Sebelum makan malam, aku sudah menghubungi Bapak untuk segera pulang agar kami makan malam bersama di rumah. Namun, Bapak tidak juga datang sehingga Mama memutuskan agar kami makan malam tanpa Bapak. Selesai makan malam, kira-kira pukul 21.00, Mama menyuruhku untuk menjemput Bapak dari kedai. Ini adalah hal yang paling kubenci, sehingga ada cekcok antara aku dengan Mama. “Aku kan cewek, malam-malam disuruh ke kedai jemput Bapak”, sungutku sambil bergegas mengeluarkan motor. Mama pun mendengar sungut-sungutku dan langsung memarahiku habis-habisan. Ya, mungkin emosi mama sudah tak bisa lagi dipendam hingga akhirnya emosi itu dikeluarkan kepadaku. (Mak, baiknya aku kan. Kupancing emosimu keluar, biar gak cuman samamu sakitnya haha).

Singkat kata, aku sudah sampai di kedai dengan adikku, yang sedikit kupaksa ikut bersamaku. Tujuannya, supaya dia yang masuk ke kedai dan memanggil Bapak. Bapak menghiraukan ajakan adikku untuk pulang bersama kami waktu itu. Terlihat jelas, dia sudah dimabuk dengan minuman khas Batak itu. Ngomongnya ngawur, jauh dari cerminan Bapak yang sadar (tidak mabuk). Ditambah dengan beberapa teman-temannya yang juga dalam kondisi sama. Motor langsung kuputar balik, setelah adikku memberikan laporan bahwa Bapak menyuruh kami pulang duluan saja.

Laporan yang sama kami sampaikan kepada Mama yang menunggu di rumah. Biasalah Mamak-mamak Batak, merepet aja terus dan mengatakan kalau tidak peduli lagi dengan Bapak. Maklum, ini bukan kasus pertama kalinya tetapi sekian kalinya.

Bapak memang tidak bisa menolak rokok dan tuak. Mungkin sudah teman hidupnya selain Mama tentunya. Bahkan mungkin sampai detik ini, sampai tulisan ini aku hadir.

Jam 11.30
Adikku sudah tidur. Aku hampir tertidur dengan pulasnya. Tiba-tiba Mama membangunkanku. “Ayo kita jemput Bapakmu!”, ujarnya.
Kebayang bagaimana rasanya yang masih baru saja menikmati tidur tiba-tiba dibanguni. (I really hate this).

Singkat cerita, di kedai itu sudah terparkir motor yang kukendarai dengan Mama. Mama menyuruhku masuk ke dalam kedai dan memanggil Bapak. (Oh man, karma itu memang ada ya?)

Akhirnya, Bapak sudah di rumah. Aku pamit tidur lagi. Aku tidak mau meladeni Bapak dengan kondisi seperti itu. Seiingatku, aku selalu menangis jika Bapak mengajakku mengobrol sementara Bapak dalam kondisi mabuk. Jadi kuputuskan untuk tidur saja. Mama sudah di kamar dengan posisi tidur, mungkin sudah malas juga meladeni Bapak. Tapi sebenarnya dia tidak tidur.

Saat aku mencoba melanjutkan tidurku, sudah ada perang mulut dari ruang tamu. Aku mengintip. Bapak dan Mama sedang perang mulut. Aku kembali mencoba tidur dengan pikiran nanti juga berhenti karena capek sendiri.

Sayup-sayup kudengar sudah tidak ada lagi perang mulut dari ruang tamu. Tiba-tiba Mama mengetok pintu kamarku dan tidur di sebelahku. Uh, mengingat momen ini, aku bisa apa bagi Mama, hanya bisa diam (Maaf ya Mak).

Entah mengapa, Bapak memilih melanjutkan perdebatan walaupun Mama sudah berada di kamarku. Bapak seperti tidak mau kalah dan mencoba memancing emosi Mama. Sialnya, Mama terpancing. Tiba-tiba Mama bangun lagi dan memilih melanjutkan berdebat dengan Bapak. Seolah-olah mereka berdua tidak peduli lagi anaknya dan tetangga ada di sekitar mereka.

Hingga akhirnya kutemui Mama yang membanguniku dan mengajakku pergi dari rumah. Adikku juga sudah bangun. (Kisah ini sudah lama, pada malam itu bertekad bahawa aku lebih memilih tidak mengingat  alasan mengapa situasi ini terjadi dan terakhir, sehingga aku benar-benar lupa mengapa Mama mengajakku dan adikku pergi dari rumah malam itu, malam yang dingin dan suram). Adikku mulai menangis karena tidak tahu apa-apa. Bapak tidak membiarkan kami pergi. Adu mulut masih terjadi. Yang kuingat pada malam itu, aku hanya bisa memeluk adikku dengan harapan kalau besar nanti jangan seperti Bapak. Inilah peran anak tertua dibutuhkan mungkin. Mengayomi adiknya.

Malam itu mungkin malam paling suram sampai-sampai Mama mengajakku meninggalkan rumah. Meninggalkan Bapak.

***

8 tahun kemudian.
Pukul 23.45 aku sudah sampai di Bandung. Perjalanan Kelapa Gading – Dipatiukur begitu macetnya sehingga malam selarut ini aku baru tiba di Bandung. Orang yang kujumpai di hotel itu pertama sekali adalah Abangku. Sudah lama aku tidak melihatnya. Aku mendongak untuk melihat  senyum bahagianya, senyum seorang lulusan sarjana teknik. Di kamar, aku melihat Mama yang kelihatannya sangat menikmati fasilitas hotel. Kupeluk wanita kurus itu dan kucium pipinya. Wajahnya sangat gembira. Wajah Ibu yang menyiratkan bahwa “anakku besok wisuda, aku bahagia sekali, yeay!”. Di kamar sebelah, kutemui Bapak. Kusalam dan kupeluk erat Bapak dengan bau khasnya yang bercampur dengan bau rokok itu. Tidak beda jauh, Bapak juga bahagia sekali. Aku tahu Bapak sangat senang berada di Bandung terlebih ia datang ke Bandung semata-mata karena menghadiri acara wisuda anaknya. Seolah-olah kedua orang tuaku ini merasakan lagi indahnya jatuh cinta saat mereka muda mungkin. Membandingkan saat-saat mereka sedang jatuh cinta ketika muda dulu dan malam yang paling suran 8 tahun yang lalu membuatku geli dan tertawa sendiri. Wah, aku menertawakan kisah hidupku yang membuat aku membenci Bapak dulu.

Karena sudah sangat malam, kami pun tidur. Aku tidur bersama Mama. Sebelum tidur, kami sempatkan bertukar pikiran, bercerita apa saja sampai akhirnya Mama menyerah dan menyuruhku tidur karena paginya adalah acara anaknya. Haha

Sebelum tidur, aku berdoa. Betapa bersyukurnya aku melihat wajah bahagia kedua orang tuaku. Wajah yang sama dengan suasana hati yang sama. Wajah yang sangat berbeda dengan wajah 8 tahun yang lalu yang sangat menyedihkan. Aku berharap, wajah bahagia ini bisa terulang kembali dengan hasil yang diraih anak-anaknya.

Bapak juga manusia punya kekurangan yang mungkin sejak Bapak dan Mama memutuskan menikah sampai saat ini juga, kebiasaan itu tidak bisa hilang (Sepantauanku, semakin lama kebiasaan itu sudah semakin berkurang). Namun, di saat Bapak dan Mama merasakan salah satu titik terendah dalam hubungan mereka, titik dimana keluarga yang mereka bangun hampir jatuh berantakan, ada Mama (Wonder Woman) itu memilih tetap setia bersama Bapak. Memilih untuk tidak pergi dari rumah 8 tahun yang lalu. Memilih untuk berjuang bersama Bapak sampai hari ini untuk memberikan yang terbaik kepada anak-anaknya.

Kedua orang tuaku mengajarkanku bahwa cinta itu harus bertumbuh bahkan ketika benar-benar jatuh.

Seorang pendeta pernah mengatakakan dalam kotbahnya bahwa “Orang Kristen itu sebaiknya bertumbuh dalam cinta, bukan jatuh cinta.” Aku tidak tahu apakah Bapak dan Mama tahu yang dikatakan Pendeta ini, namun satu hal yang bisa kupastikan bahwa aku mengerti apa yang dikatakan Pendeta ini lewat kedua orang tuaku. Kedua orang tuaku mengajarkanku bahwa cinta itu harus bertumbuh bahkan ketika benar-benar jatuh.

Tidak apa kamu jatuh karena cinta, namun bangkit lagi dengan cinta yang lebih. Itulah bertumbuh dalam cinta. Karena dengan bertumbuh dalam cinta, cintamu hari yang akan datang, minggu yang akan datang bahkan tahun yang akan datang akan lebih besar dari pada saat ini. Percayalah!

Tulisan ini adalah tulisan pertama yang kuposting online. Mohon kritikan dan sarannya ya. Demi pertumbuhan menulis dengan baik. Haha
Tulisan dengan thema yang sama dapat diakses pada link berikut ini.

12 comments

  1. Aku suka tulisanmu Veni. huhuhuhu.
    menyentuh kali. Jadi kayak bagian dari buku diaty online yah. Cuma cukup membangun bagi orang-orang yang (mungkin) mengalami cerita dan pengalaman yang serupa denganmu. Paling suka sama kata-kata ini, Tidak apa ketika kamu jatuh karena cinta, namun bangkit lagi dengan cinta yang lebih. Itulah bertumbuh dalam cinta.
    Semangat dipenuhi cinta terkhusus di dalam keluarga yah. 🙂

    Suka

      • Now that I’ve read several of your comments, I see that you are very focused on this ex-boyfriend, probably in that hye-mperpathic rescuing mode we’ve talked about. It seems to me that you need to work hard to move on and focus more on yourself than on him. You can’t save him, as much as I can see you’d like to.

        Suka

  2. Keren..
    Makasi sharing pengalamannya deee, semoga ketika jatuh kita gak memilih terpuruk tapi memilih untuk bertumbuh. Sabar dan berpengharapan.
    Ini pelajaran yang baik buat kita ^^

    Suka

  3. Masih ada typo om.. masih ada istilah yang gak semua pembaca tau artinya.. misalnya “mendongak”.. kalau bisa pake footnote atau pake istilah yang lebih umum. Ada kalimat yang rada ambigu juga.. Ceritanya menyentuh.. mangats min.. semoga tulisan selanjutnya lebih baik lagi. God bless.. 🙂

    Suka

      • waktu ngetik “mendongak” aku bingung ka Rin mau buat apa.. aku mau bilang -> abangku itu berbadan tinggi sedang aku berbadan pendek. Jadi untuk melihat senyum atau mukanya saja, aku harus mengangkat kepala (= mendongak). hahaha gitu maksudku ka, tapi aku bingung membahasaknanya..

        wkwkwk, makasih ka Rin. amin.. semoga lebih baik lagi ke depannya..

        Suka

      • Chris, I second that! I had long been trying to wrap my head around a practical use for the vaeerbli-vaaiablr. While I understood the logic, I have not had an opportunity to apply it. This was great…. Thanks Frank!

        Suka

      • I believe saffron is the most expensive spice there is, because the tiny flower insides have to be each pulled by hand. It is a whole lot cheaper in India and that's why you returned with so much? That is really good thinking! I have never tasted it, but I know there is a spice of some kind that acts as a cheap substitute, can't remember what now.

        Suka

  4. sorry, aber ihr könnt euch ja die 4.3 raufziehen und dann zu schauen, wenn das team die 4.3 in ein paar tagen frei gibt, weil Apple noch in letzter minute das bb verändert hat, aber dann ist kein unlock mehr möglich jedenfalls nicht so schllle&helnip; die paar tage machen nun den kohl nun auch nicht mehr fett )) bis denne gruß beule

    Suka

Tinggalkan komentar